Foto Artikel : Film "Sepatu Dahlan" Diboikot? Jangankan Orangnya, Sepatunya Pun Dibaikot! -

 "Sepatu Dahlan

Film Sepatu Dahlan adalah adaptasi dari novel berjudul sama karya Khrisna Pabichara, mengisahkan masa kecil Dahlan Iskan — kemudian menjabat sebagai Menteri BUMN — yang tumbuh dari keluarga miskin dan harus–harus sekolah tanpa sepatu. =
Film ini disutradarai oleh Benni Setiawan dan dirilis di bioskop pada 10 April 2014. 

Meski film tersebut direncanakan sebagai inspirasi—tentang bangkit dari kemiskinan dan semangat belajar—ada sejumlah isu dan pernyataan yang mengarah ke bahwa film ini “diboikot” atau menghadapi penolakan/promosi yang terbatas. Beberapa poin penting:

Sutradara Benni Setiawan menyatakan bahwa film Sepatu Dahlan “cepat menghilang di sebagian besar bioskop” dan mengatakan:

“Saya no comment saja, sama seperti Pak Dahlan yang tidak berfikir macam-macam kalau memang filmnya sudah enggak tayang.”

Ia menolak untuk menyebut secara eksplisit bahwa film ini diboikot, tapi mengakui ada kondisi tayang yang tidak ideal.

Sebaliknya, Dahlan Iskan sendiri dalam pernyataannya menegaskan bahwa:

“Saya bukan orang yang punya ide, bukan orang yang membiayai. Saya bukan orang yang titip pesan, bukan mendorong supaya ada film ini …”

Ia membantah bahwa film tersebut sengaja diputar berdekatan dengan Pemilu atau dengan tujuan politik.

Produser menyebut bahwa banyak stasiun televisi menolak iklan/promosi film karena “opini masyarakat bahwa ini film politik.”

Sehingga, promosi film ini berjalan dengan “nonton bareng” dan media sosial sebagai kanal alternatif.

Fakta Utama yang Perlu Disorot

Film ini mengangkat tema kemiskinan dan semangat sekolah: dalam naskah dikisahkan Dahlan kecil harus berjalan puluhan kilometer tanpa alas kaki dalam kondisi ekonomi yang sangat terbatas.

Jadwal tayang 10 April 2014 — berdekatan dengan Pemilu Legislatif Indonesia 2014 — memicu spekulasi bahwa film memiliki “muatan politik”.

Pembuat film menegaskan bahwa proyek ini “murni” untuk inspirasi dan bukan propaganda politik.

Ada pernyataan eksplisit dari sutradara bahwa kemungkinan tayang film dibatasi atau kondisi distribusi tidak optimal, yang dikaitkan dengan spekulasi “boikot”.

 Analisis: “Jangankan Orangnya, Sepatunya Pun Dibaikot!”

Judul yang Anda usulkan — “Jangankan Orangnya, Sepatunya Pun Dibaikot!” — menggambarkan eksagerasi atau kritik bahwa film ini dan simbol-nya (sepatu) menghadapi hambatan tayang/promosi, seolah benar-benar “dibekukan”. Dari data:

Memang ada hambatan distribusi/promosi — tv menolak iklan, bioskop “cepat menghilang”.

Namun, tidak ada bukti publik yang kuat bahwa film ini secara resmi diboikot oleh lembaga pemerintah atau institusi besar. Pernyataan “no comment” atau “tidak tahu alasannya” oleh pihak produksi menunjuk ke ketidakjelasan.

Karena itu, pernyataan bahwa “sepatu pun dibaikot” bisa dianggap hiperbola atau retorik untuk menyampaikan bahwa proyek ini mengalami perlakuan tidak adil.

Kesimpulan

Film Sepatu Dahlan memang menghadapi situasi yang mencurigakan: tayang berdekatan Pemilu, promosi terhambat, dan pihak produksi menyiratkan bahwa ada “boikot tidak resmi”. Tetapi secara formal tidak ada konfirmasi bahwa film tersebut diboikot secara resmi.

Oleh karena itu, apabila Anda ingin menulis artikel blog dengan judul seperti “Diboikot? Jangankan Orangnya, Sepatunya Pun Dibaikot!”, Anda bisa menggunakan gaya yang provokatif — namun perlu disertakan klarifikasi bahwa “boikot” di sini lebih bersifat spekulatif atau berbasis hambatan distribusi/promosi, bukan keputusan resmi.

Usulan Struktur Artikel

Berikut kerangka yang bisa Anda gunakan:

Pembukaan: Kutipan “jangankan orangnya, sepatunya pun dibaikot!” sebagai hook.

Latar Film: Ringkasan tentang film, tema, dan latar belakang produksi.

Spekulasi Boikot: Ulasan fakta-fakta yang menimbulkan spekulasi — jadwal tayang, promosi terhambat, pernyataan pihak produksi.

Klarifikasi Resmi: Pernyataan Dahlan Iskan dan produser yang menolak muatan politik/boikot resmi.

Analisis: Kenapa hambatan terjadi (mis-opini publik bahwa ini film politik; jadwal dekat Pemilu; tantangan pemasaran).

Refleksi: Apa arti dari “boikot” dalam konteks ini — tidak harus larangan resmi, bisa juga “tidak mendapat distribusi/promosi layak”.

Penutup: Pesan inspirasi film vs. tantangan yang dihadapi, relevansi untuk pembaca.



 

Post a Comment

0 Comments